Sebuah Cerita tentang Cinta Pertama
Rasanya
tidak terhitung lagi sudah berapa kali kata-kata itu keluar dari mulut beliau.
Dari saya SD sampai saya kuliah seperti sekarang. Sudah khatam rasanya,
sebegitu kuat keinginan beliau agar anaknya dapat mengenyam pendidikan tingggi.
“biar jadi orang” katanya.
Baiklah,
tulisan ini saya dedikasikan untuk cinta pertama saya, ayah terbaik di seluruh
dunia yang biasa kami panggil dengan sebutan “BABA”, sosok ayah yang manis lagi
baik hati dibalik perjuangan cita-cita kami.
Selama
perjalanan saya hidup di dunia, banyak sekali kata-kata nasihat yang beliau berikan,
dan nasihat itu akan selalu saya ingat. Misalnyaaa....
Ketika
saya berbuat kesalahan, baba selalu mengatakan “kenapa kayak gitu dek? Pernah
baba ajarkan kayak gitu? Coba lihat baba dek, baba selalu cari nafkah yang
halal, itu tu biar apa? Biar bagus akhlak semua anak baba.
Mungkin,
di antara anak-anak yang lain, Cuma saya yang sering kena marah dan kena pukul
ketika masih kecil. Namun, saya ingat sekali ketika saya sudah SMA dan membuat
satu kesalahan. Baba hanya mengatakan “baba rasa adek udah besar sekarang, ngga
perlu lagi baba pukul, adek udah tau mana yang baik dan mana yang buruk buat
adek, baba cuma bisa kasih nasihat”. Setelah saat itu, saya sadar bahwa saya
sudah di anggap dewasa oleh beliau.
Di
antara anak yang lain juga, saya adalah anak yang sering berdebat dengan baba, dalam
semua hal terkhususnya pilihan lanjut sekolah, baba pengen sekolah A saya
pengennya sekolah B. Tapi dari baiknya hati beliau, beliau selalu mengajak saya
duduk berdiskusi, iya, pada akhirnya beliau yang akan mengalah demi keinginan
saya. Saat berdebat, pasti ujung-ujungnya berakhir di titik “ya sudah baba ikut
adek aja, tapi adek belajarnya bagus-bagus, baba cuma bisa berusaha cariin
biaya”
Lalu
sekarang, bukan hanya saya saja yang menjadi bebannya, tetapi juga adek aril. Lagi-lagi
baba mengalah demi keinginan anaknya untuk masuk pesantren, walaupun beliau
sendiri juga kadang tidak tahu akan kemana mencari uang. Hanya satu yang beliau
punya, mimpi anak-anaknya berhasil dan selama itu untuk pendidikan anak, Allah
akan permudah dan berikan jalan.
Satu
lagi yang istimewa dari beliau. Beliau selau terlihat tegas. Sosok yang paling
saya hargai, dirumah. Sesekali kami anak-anaknya akan diajaknya bercanda dengan
jokes-jokesnya yang kadang sama sekali tidak lucu hehe, tapi ya kami akan
tertawa aja, ketika beliau tertawa duluan dengan semangatnya. Namun, saat saya
dewasa, saya baru mengerti tentang tegarnya hati beliau. Saya ingat sekali
beberapa kali saya sempat melihatnya menangis, yang awalnya saya sangka sosok sekuat
beliau akan pernah menangis. Pada tahun 2014 ketika keluarga kami di uji dengan
bobroknya perekonomian, beliau dengan susah payah mempertahankan semuanya demi
masa depan anaknya yang layak, meski Allah berkehendak lain. Tapi alhamdulillah
yang hebatnya, beliau selalu punya cara
untuk menutupi semuanya. Lalu, pada tahun 2017, tahun yang sangat
mengguncang keluarga kami. Saat itu, saya ingat sekali, sekitar ba’da maghrib
di RSUD Raden Mattaher Jambi, beliau menangis sejadi-jadinya di depan saya,
bagaimana mungkin? Dua wanita yang sangat kami cintai, teta dan emak, keduanya terjatuh
sakit dan sangat parah. Saya tahu, saat itu baba sudah berada pada puncak sabar
yang selama ini kuatkan, tangisnya sangat pecah. Pada saat itu beliau terduduk
menangis tersedu memeluk saya dan hanya berkata “baba minta ampun sama Allah,
banyak sekali dosa baba, berat sekali ujian ni dek”
Lalu,
puncaknya yaitu pada saat di perjalanan ke rumah sakit beberapa menit sebelum teta
meninggal, tentang sepeka apa hati yang beliau punya, sambil menangis ia berkata
“nak, kalau teta mau pergi, baba ikhlas nak lalu dengan pelan beliau menuntun
teta bersayahadat. Sungguh, baba telah menjadi ayah terbaik hingga akhir hayat
teta. Walaupun setelahnya, tak bisa saya bayangkan bagaimana hancurnya hati
beliau, berkali-kali ia pingsan pada hari itu. Tidak sanggup melihat anak yang
sangat ia cintai terbujur kaku, sampai-sampai beberapa hari setelahnya kami
sempat kehilangan beliau, dan ternyata beliau tengah berbaring di samping makam
teta. Saya sangat menyadari tentang betapa besar cinta beliau untuk anak-anaknya.
Tak
lama setelah teta meninggal, saya berniat untuk mengundurkan diri tidak usah
kuliah saja. Karena universitas yang jauh, tidak terlalu hati rasanya
meninggalkan mereka. Tapi sekali lagi, karena baiknya hati beliau, beliau
menguatkan saya, meminta untuk melanjutkan. katanya “inikan keinginan adek,
Allah udah takdirkan adek lulus, sayang kalau tidak dilanjutkan” dari matanya
saya tahu, sebesar apa hatinya untuk mengalah dan melepas anaknya pergi jauh ke
negeri orang. Dengan hati yang masih kacau, beliau kuatkan untuk mengantar saya
kuliah, menemani mengurus administrasi di universitas.
Ya Allah,
betapa beruntungnya saya, Engkau titipkan kepada orang seperti beliau.
Rasanya
tidak akan mampu saya membalas seluruh kebaikan hati beliau, hanya terimakasih
yang bisa saya ucapkan
Terimakasih...
untuk
perjalanan mengantar, untuk waktu menunggu keberangkatan atau kepulangan bus,
untuk pangkuan yang menenangkan, untuk setiap jajatan yang dirindukan, dan
untuk semua cinta dan kasih yang di curahkan kepada kami
Terimakasih
karena tidak mengenal lelah untuk cita-cita kami. Bekerja dari pagi sampai sore,
tidak peduli panas ataupun hujan, yang penting dapat mengirim uang bulanan kami.
Terimakasih
untuk setiap semangat, kiriman doa dan al-fatihah untuk kami, anak-anakmu. Percayalah,
pencapaian yang telah kami terima adalah berkat doa baba yang berhasil mengetuk
pintu langit Allah.
Semoga
Allah takdirkan berumur panjang agar dapat melihat keberhasilan kami kelak. Hasil
dari jerih payah baba sendiri. Insyaallah, masa tua baba dan emak adalah
tanggung jawab kami. Semoga Allah izinkan kami untuk mebahagiakan kedua orang
tua tercinta kami. Dan semogaaaaa setiap keringat yang sudah baba keluarkan
untuk kami, Allah gantikan dengan sungai yang mengalir di Surga nanti
Aammiin
Selamat
hari Ayah, Baba.
Comments
Post a Comment